Senin, 14 September 2009

MANAJEMEN KONSERVASI DAN OTONOMI DAERAH

BERKACA DICERMIN RETAK
 (MANAJEMEN KONSERVASI DAN OTONOMI DAERAH)
(by Syamsul Bahri, SE, Conservationis di Jambi, Dosen STIE-SAK, syamsul_12@yahoo.co.id)

Era otonomi daerah yang diimplementasikan sejak Januari 2001, secara fundamental akan menyusun ulang bentuk hubungan antara pemerintah pusat di Jakarta dan otoritas lokal dalam semua sektor, termasuk sektor kehutanan. Otoritas propinsi dan Kabupaten menjadi semakin menolak inisiatif-inisiatif gaya lama yang diatur dari pusat. Pada saat yang bersamaan, pemerintah pusat tetap bertanggung jawab atas kawasan yang di Konservasi. Dalam banyak kasus, hal ini menjadikan lumpuhnya manajemen kawasan Konservasi. Meskipun kepastian soal kekuasaan hukum di kawasan Konservasi antara pemerintah pusat dan otoritas tingkat daerah sudah jelas, namun kepentingan PAD membuat management konservasi menjadi tidak kuat, kecenderungan desentralisasi membuka pintu terhadap peningkatan partisipasi lokal dalam hal alokasi dan manajemen sumber-sumber daya alam dan peningkatan tanggung jawab pemerintah di tingkat lokal. Namun, jika tidak dilaksanakan dengan baik, desentralisasi juga menaruh risiko besar terjadinya percepatan kerusakan lingkungan. 

Keadaan kawasan konservasi yang terus memburuk dan cepatnya kerusakan hutan dataran rendah sampai dataran tinggi merupakan ancaman umum terhadap keanekaragaman hayati Sumatera yang nampak nyata. Sebenarnya para pemimpin politik dan eksekutif hendak bercermin dengan cermin yang benar, tidak bercermin di kaca retak, dengan kondisi yang sudah terjadi saat ini, dimana tempat di wilayah Indonesia bahkan dunia mengalami bencana, karena faktor lingkungan dan daya lenting lingkungan yang sudah tidak mampu lagi, kenyataannya, para pemimpin saat ini justru bercermin di kaca retak, bencana yang menimpa justru ingin diciptakan dengan membuat kebijaksanaan yang cenderung tidak berfihak pada lingkungan yang akan memperbesar bencana yang akan timbul dimasa yang akan datang, kebijakan yang sangat tidak berfihak pada lingkungan antara lain merencanakan pembangunan memotong kawasan konservasi, mengksploitasi kawasan tersebut menjadi lahan pertambangan, perkebunan, menjadikan lahan tersebut menjadi areal transmigrasi, jelas kawasan tersebut dilindungi oleh Undang-Undang, seakan-akan era otonomi membutakan kan mata dan menghalalkan cara hanya untuk memenuhi PAD jangka pendek selama rezin mereka berkuasa, dan bagimana pemimpin berikutnya menerima akibat baik akibat opportunity maupun bencana yang discenerio dimasa yang akan datang.
Sebelum membicarakan ancaman-ancaman pokok lainnya, penting untuk mempertimbangkan penyebab-penyebab utamanya: 
1. Kurangnya kemauan politik. Meskipun deklarasi-deklarasi di tingkat nasional telah mengarah pada penghentian pengrusakan hutan yang illegal/legal dan perdagangan satwa liar yang ilegal, hanya ada sedikit kemauan politik atau perhatian yang terorganisir baik untuk melakukan hal yang sama pada tingkat lokal. Bahkan cenderung Kemauan politik tingkat regional dalam bentuk deklarasi serta kesepakatan baik menghentikan Illegal loging, perburuan satwa, maupun deklarasi pelestarian kawasan konservasi cenderung merupakan lip servise dan sangat tidak ada kemauan untuk mengimplementasikan
2. Kemiskinan. Kemiskinan yang terstruktur akibat kebijakan yang tidak berfihak pada lingkungan masa yang akan datang lebih besar
3. Korupsi, kolusi dan nepotisme. Penyalahgunaan wewenang untuk mendapatkan keuntungan pribadi merupakan warisan yang telah merajalela dan banyak didokumentasikan sejak dulu. Keterlibatan berbagai pihak dalam pengrusakan sumber-sumber daya hutan. 
4. Penegakan hukum yang tidak berfungsi. Tiadanya penegakan hukum, khususnya dalam sektor kehutanan, telah umum diketahui, bahkan dalam pernyataan-pernyataan resmi oleh Menteri Kehutanan Indonesia. 
5. Dorongan kuat terhadap pembabatan dan perubahan fungsi hutan. Keuntungan dari industri minyak kelapa sawit dan kebangkrutan industri kertas dan bubur kertas, mendorong terjadinya pembabatan, pembakaran dan perubahan fungsi hutan dalam skala besar, proses pembalakan dan perubahan fungsi tersebut memberikan mata pencaharian bagi masyarakat lokal, yang meskipun tidak sah namun sangat dibutuhkan.
6. Dorongan terhadap upaya konservasi tidak memadai. Nilai dari layanan-layanan ekologis (misalnya pengendalian banjir, fungsi-fungsi aliran air, dan pemanfaatan hasil-hasil hutan yang diatur dengan baik) tidaklah dipahami dengan baik, sementara hukuman terhadap pembabatan hutan yang ilegal kurang memadai. 

Kondisi menyebabkan terparah karena terjadi
1. Penebangan Kayu Legal dan Ilegal Pemanfaatan hasil hutan baik kayu maupun non-kayu yang tidak sah dan ilegal terjadi merajalela di seluruh Sumatera, terkadang mendapat dukungan dari militer, polisi , serta industri-industri perkayuan, kertas dan bubur kertas. Harga kayu ilegal jauh lebih rendah dari kayu legal, sehingga operasi yang legal tidak mendapat keuntungan ekonomis. Situasi ini diperburuk oleh meningkatnya permintaan kayu dari Cina, sebagai akibat adanya larangan penebangan kayu di negara tersebut. Kayu ilegal dari Sumatera diselundupkan melalui Malaysia untuk memenuhi permintaan dari Cina, Amerika Utara, Eropa, dan Jepang. Industri kertas dan bubur kertas merupakan faktor utama ancaman yang terjadi akibat penebangan kayu..
2. Perkebunan Kelapa Sawit pemerintah daerah mempromosikan ekspansi dari perkebunan kelapa sawit. Beberapa Gubernur mengumumkan rencana untuk mengubah hutan menjadi kelapa sawit. Situasi ini mencerminkan besarnya rencana ekspansi kelapa sawit yang akan dilaksanakan di tempat lain, setidaknya di Propinsi Jambi, Riau dan di Sumatera utara. Pada saat yang bersamaan, kebakaran hutan banyak terjadi di seluruh Sumatera, khususnya di wilayah tengah dan selatan. Dengan meningkatnya harga minyak kelapa sawit, para pembangun perkebunan yang haus akan tanah di Sumatera dengan sengaja membakar hutan dengan skala wilayah yang luas. 
3. Perdagangan Satwa dan Perburuan Liar Perdagangan satwa dan perburuan liar terjadi merajalela di Sumatera. Insentif keuangan untuk perburuan gelap sangat tinggi, sementara kesadaran dan penegakan hukum atas peraturan perdagangan satwa liar masih rendah..
4. Rencana dan Pembangunan Jalan Jalan merupakan rute dimana para penduduk dan truk-truk penebangan ilegal mendapat akses ke kawasan hutan yang dahulu terpencil, beserta semua spesies yang hidup di dalamnya. Jalan-jalan untuk penebangan hutan ini seringkali menjadi rute transportasi resmi yang diadopsi oleh pemerintah lokal. Di sebagian besar wilayah Sumatera, pembangunan jalan untuk penebangan ini menandai tahap pertama hilangnya hutan secara keseluruhan. Pemerintah lokal nampaknya cenderung untuk mengakomodasi konstruksi jalan sebagai suatu bentuk mendapatkan penghasilan. Gambar dari satelit mencatat ratusan jalan-jalan untuk penebangan melintasi jauh sampai ke dalam hutan-hutan Konservasi dan taman-taman nasional. Propinsi Aceh mempunyai rencana untuk membangun sistem jalan masuk, mulai dari Banda Aceh selatan sampai ke batas Ekosistem Leuser. Baru-baru ini, sebuah rencana pembangunan di Taman Nasional Kerinci Seblat, meskipun ada peraturan yang melarangnya. Secara umum, pola pembangunan jalan menunjukkan bahwa fragmentasi hutan yang lebih besar akan terjadi dalam waktu dekat. 
5. Pertambangan Ledakan bisnis pertambangan dimulai pada tahun 90-an, telah menyebabkan pembangunan jalan di daerah yang dahulu terisolasi, pengrusakan hutan, banjir, dan polusi sungai, mengakibatkan kontaminasi di sistem sungai sekitar, hilangnya sumber-sumber daya air untuk penduduk desa sekitar, serta masih banyak kekuatiran lainnya.

Kondisi ini akan memperburuk mutu lingkungan, namun betapa besarnya managemen konservasi akan sangat sulit bisa mengatasi kondisi ini, apabila Pemerintah Kabupaten/Propinsi tetap bercermin di Kaca Rerak, tentunya akan menciptakan bahaya dan bencana lebih besar lagi dimasa yang akan datang.

Apalagi saat ini di beberapa daerah Kabupaten/kota dan propinsi di Sumatera akan melaksanakakan Pil”bup/Wako”kada dan Pil”gub”kada dalam rentan waktu 2010-2015, Isu PAD dan sumber PAD yang bersumber dari kawasan konservasi, serta Pembangunan jalan/infrastruktur dalam kawasan konservasi menjadi isu politik (Black Issue) yang cukup trend dalam materi kampanye dan sosialisasi para bakal calon baik Bupati/Wali kota maupun Gubernur, dengan hitungan ekonomi nilai kayu dan dampak jangka pendek terhadap infrastrukrtur yang dibangun, sebaiknya menghitung nilai ekonomi tersebut harus secara komprehensif, karena hutan konservasi memiliki nilai langsung sangat kecil dibandingkan nilai ekonomi tidak langsung, yang dikatakan nilai ekonomi total kawasan konservasi.
 
Pengabaikan nilai ekonomi total kawasan konservasi, memberikan nilai nyata yang terjadi bencana bahorok, gempa dan tsunami aceh dan jogya, Tasik Malaya, banjir Jakarta, lumpur panas Lapindo, banjir Riau, Jambi, Pulau, Sumatera Barat, kebakaran hutan hampir semua wilayah di Indonesia, kasus buyat, dan masih banyak lainnya. 
kondisi ini justru hendaknya menjadi cermin bagi pejabat bagaimana meminimlkan bencana tersebut, jangan bercermina di kaca retak, yang membuat kebijakan yang tidak berorientasi pada lingkungan, apakah bercermin di kaca retak ini akan dilanjutkan .............................?

Diharapkan dalam pembangunan ekonomi saat ini, adalah memadukan prinsip sinergitas antara kegiatan konservasi dengan pembangunan ekonomi (darusman dan widada 2004), adalah (1) Konservasi merupakan landasan pembangunan ekonomi berkelanjutan, tanpa ada ketersediaan dan jaminan SDAH, maka pembangunan ekonomi akan terhenti; (2)Pembangunan ekonomi merupakan landasan pembangunan konservasi konservasi berkelanjutan, tanpa ada manfaat ekonomi bagi masyarakat secara berkelanjutan, dipastikan pembangunan konservasi akan akan hancur, karena masyarakat tidak peduli; (3) Kegiatan pembangunan ekonomi dan pembangunan konservasi bertujuan untuk meningkatkan mutu kehidupan dan kesejahteraan masyarakat; (4) dengan pengetahuan dan pemahaman konservasi, maka manusia lebih mampu dan memahami kompleksitas tentang ekologi dan ekosistem sehingga menyadari, bahwa SDA perlu dikelola secara hati-hati dan, agar tetap lestari meskipipu SDA itu dimanfaatkan secara terus menerus; (5) Dengan pengetahuan ekonomi, manusia akan lebih arif menentukan pilihan aktivitas ekonomi yang paling rasional dalam mengunakan SDA untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan secara berkesinambungan

Dan perlu mernjadi catatan bahwa Kebutuhan adanya konservasi keanekaragaman hayati di Sumatera merupakan salah satu hal yang paling mendesak di planet ini, dalam meminimalkan bencana. 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar